Makna Kemerdekaan Dalam Islam


Dibuat oleh:  Admin
Selasa, 20 Agustus 2024 / 15 Safar 1446 H

Pekan lalu atau tepatnya tanggal 17 Agustus 2024, kita telah memperingati hari kemerdekaan negara Indonesia dengan riang gembira. Hari yang selalu diperingati sebagai hari ulang tahun negara ini pada setiap tahunnya. Namun apabila kita kembali menelaah lebih dalam tentang makna dari kemerdekaan itu sendiri, kita akan mendapat pemahaman lebih daripada kemerdekaan yang selama ini telah kita ketahui. Lalu, apa itu kemerdekaan dan bagai mana maksud dari kemerdekaan yang hakiki dalam agama Islam?, mari kita ulas bersama

Mengetahui makna kemerdekaan dalam Islam tentu juga mengetahui batas-batas kebebasan yang ditetapkan syariat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kemerdekaan dimaknai sebagai kebebasan, dapat berdiri sendiri, dan tidak terjajah lagi. Dari segi istilah, kemerdekaan artinya kebebasan individu untuk melakukan yang dikehendakinya tanpa pengaruh orang lain. Sementara itu, dalam bahasa Arab kemerdekaan disebut dengan al-Hurriyah.

Menurut Muhammad Idris, LC dalam karyanya yang berjudul makna kemerdekaan bagi seorang muslim telah menyebutkan bahwasannya Dalam Islam, makna kemerdekaan lebih jauh dari sekedar kemerdekaan sebuah negara dan bangsa. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang hamba bebas melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala tanpa adanya suatu penghalang apa pun. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang muslim tidak memiliki penghalang antara dirinya dan surga Allah Ta’ala.

Mengutip dari buku Al Qur’an sebagai Sumber Hukum yang disusun Alik Al Adhim, dalam Al-Qur’an kemerdekaan disebut sebagai al-Hurriyah. Islam menghormati kemerdekaan individu, kemerdekaan berfikir, kemerdekaan berbicara, bahkan kemerdekaan memilih dan menentukan agama dan jalan hidupnya. Ini diterangkan dalam surah Al Baqarah ayat 256,

لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Bahkan, kemerdekaan termasuk salah satu prinsip dalam penerapan hukum Islam. Diterangkan dalam buku Pemikiran dan Filsafat Hukum Islam yang ditulis Prof Dr Izomiddin MA, kemerdekaan dan kebebasan dalam Islam menghendaki agar agama Islam disiarkan tidak berdasar paksaan, melainkan berdasarkan penjelasan, demonstrasi dan argumentasi.

Selain al-Hurriyah, kemerdekaan dalam Islam juga disebut sebagai al-Istiqla. Kata tersebut ditafsirkan sebagai al-taharrur wa al-khalash min ay-qaydin wa saytharah ajnabiyyah atau bebas dan lepas dari segala bentuk ikatan dan penguasaan pihak lain.

Secara syariah, makna kemerdekaan dalam Islam berarti kondisi ketika seseorang sadar dan berusaha keras untuk memposisikan diri sebagai hamba Allah SWT. Jadi, muslim harus tunduk kepada Allah SWT semata, tidak ada selain-Nya.

Kemerdekaan dalam islam dengan aspek kemanusiaan mencangkup :

  • Kebebasan Beragama

Alquran berulang kali menyebutkan bahwa Allah SWT mengangkat derajat manusia dari makhluk lainnya dan berulang kali pula akan menurunkan derajatnya sampai lebih hina dari binatang apabila tidak mampu menggunakan anugerah akal dan kelengkapan anggota jasmani yang diberikan kepadanya. Di satu sisi derajatnya diangkat melebihi dari Malaikat, tetapi di sisi lain ia juga bisa menjadi lebih rendah dari hewan.

Salah satu dari jaminan dasar itu ialah kebebasan beragama atau yang  sering diungkapkan dengan kemaslahatan agama. Syariat Islam menjamin terpeliharanya kelima hak pokok yang diberikan Allah SWT kepada manusia bagi terciptanya kemaslahatan kehidupan, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Toleransi merupakan hal yang tetap dibutuhkan demi berjalannya transformasi sosial sepanjang sejarah umat manusia. Bahkan sejarah membuktikan bahwa agama merupakan dobrakan moral atas kungkungan yang ketat dari pandangan yang dominan yang berwatak menindas.

Hal tersebut telah dibuktikan oleh Islam dengan dobrakannya atas ketidakadilan wawasan hidup jahiliah yang dianut mayoritas bangsa Arab di zamannya. Manusia di tempatkan pada martabat yang tinggi dan merupakan karunia pemberian Tuhan kepadanya, bukan pemberian manusia lain dan bukan pula pemberian negara atau superioritas lainnya.

Pembahasan terhadap berbagai masalah di atas memiliki tolak ukur dari beberapa ayat Al-Qur’an, salah satunya :

وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ

“Dan jikalau Tuhan-mu  menghendaki  tentulah semua orang yang ada di muka bumi beriman seluruhnya. Maka apakah   kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”. (Q.S Yunus :99).

  • Kebebasan Berpikir

Kebebasan berfikir juga perlulah seiring dengan tuntutan iman dan batasan aqidah. Dalam hal ini, manusia boleh menggunakan kebebasan berfikir untuk menyatakan pandangan atau melontarkan pendapat selagi perkara tersebut tidak menyalahi agama.

  • Kebebasan Berpolitik

Pada dasarnya Islam tidak pernah mendoktrinkan sebuah sistem politik tertentu secara utuh dan baku. Politik dalam Islam sangatlah lentur dan dinamis, terlihat dari bagaimana rekam jejak Nabi dan para penggantinya yang disebut Khulafaurrasyidin mengelola kehidupan politik umat Islam di awal sejarah.

Relasi Islam dan politik memang telah diperbincangkan sejak sangat lama. Beberapa ulama yang pernah mengkaji politik Islam di antaranya adalah al-Farabi (w. 339 H), al-Mawardi (w. 450 H), al-Ghazali (w. 505 H), Ibn Taymiyah (728 H) dan Ibn Khaldun (w. 784 H). Dan di era kontemporer di antaranya adalah Jamaludin al-Afghani (w. 1897 M), Hasan al-Banna (w. 1949 M), Abdul Wahab Khalaf (w. 1956 M), Ali Abd al-Raziq (w. 1966 M), Sayyid Quthb (w. 1966), al-Maududi (w. 1979 M), Abdurrahman Wahid (w. 2009 M), dan lainnya.

Namun meski Islam tidak mengajarkan sebuah sistem yang utuh tentang politik, Islam menekankan sejumlah prinsip dan moralitas berpolitik dan bernegara. Paling tidak ada tujuh prinsip politik Islam yang tersirat di dalam Al-Quran. Antara lain  Amanah,

HOME