Dibuat oleh: Admin
Kamis, 28 November 2024 / 26 Jumadilawal 1446 H
Dalam bermasyarakat, kepemimpinan dibangun atas nilai-nilai kearifan lokal. Jika kultur dan kearifan lokal dikaitan dengan aktivitas kepemimpinan, maka ia menjadi sebuah entitas yang tidak bisa dipisahkan. Kepemimpinan tidak bisa terlepas dari nilai-nilai budaya dan kehidupan sosial masyarakat yang dianut. Ia tidak bisa dipertentangkan, tetapi ia harus direlasikan atau bahkan diintegrasikan. Salah satu ciri kearifan lokal adalah memiliki tingkat solidaritas yang tinggi atas lingkungannya.
Ibnu Taimiyyah menyatakan agama Islam tidak akan bisa tegak dan abadi tanpa ditunjang oleh kekuasaan, dan kekuasaan tidak bisa langgeng tanpa ditunjang dengan agama. Dalam Islam istilah kepemimpinan dikenal dengan kata Imamah. Sedangkan kata yang terkait dengan kepemimpinan dan berkonotasi pemimpin dalam Islam ada delapan istilah, yaitu; Imam dalam Surat al-Baqarah 124. Khalifah pada al-Baqarah: 30. Malik, al-Fatihah : 4, Wali pada al-A’raf : 3. ‘Amir dan Ra’in, Sultan, Rais, dan Ulil ‘amri.
Karakteristik manusia yang mempunyai motivasi tinggi untuk menjadi pemimpin tampak dalam tingkah laku yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa apa yang dilakukannya merupakan bagian dari ibadah kepada Allah. Pemimpin merupakan suatu panggilan yang sangat mulia dan perintah dari Allah yang menempatkan dirinya sebagai makhluk pilihan sehingga tumbuh dalam dirinya kehati-hatian, menghargai waktu, hemat, produktif, dan memperlebar sifat kasih sayang sesama manusia.
Sehingga karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin yang pertama adalah sikap Shidiq (jujur). Seorang pemimpin wajib berlaku jujur dalam melaksanakan tugasnya. Jujur dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mengada-ngada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji dan lain sebagainya. Mengapa harus demikian? Karena ketidak jujuran itu selain merupakan perbuatan yang jelas-jelas tercela, jika terbiasa dilakukan, akan memberikan pengaruh negatif kepada kehidupan pribadi dan keluarga pemimpin itu sendiri. bahkan lebih jauh lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu akan mewarnai dan mempengaruhi kehidupan masyarakat yang di pimpinnya.
Dalam Alquran, keharusan bersikap jujur dalam memimpin, sudah diterangkan dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain kejujuran tersebut. Di beberapa ayat, dihuhungkan dengan pelaksanaan timbangan, sebagaimana Firman Allah swt: Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. (QS Al An’aam: 152).
Yang kedua adalah sikap amanah atau tanggung jawab, seorang pemimpin harus bertanggung jawab atas usaha dan pekerjaan yang telah dipilihnya tersebut. Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis tanggung jawab tersebut berada di pundaknya. Dalam pandangan Islam sendiri, setiap pekerjaan manusia adalah mulia. Pemimpin merupakan suatu tugas mulia, lantaran tugasnya antara lain memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat akan barang dan atau jasa untuk kepentingan hidup dan kehidupannya.
Ketiga, tidak menipu. Pemimpin hendaknya menghindari penipuan, sumpah palsu, janji palsu, keserakahan, perselisihan dan keburukan tingkah polah manusia lainnya. Setiap sumpah yang keluar dan mulut manusia harus dengan nama Allah. Jika sudah dengan nama Allah, maka harus benar dan jujur. Jika tidak henar, maka akibatnya sangatlah fatal. Oleh sehab itu, Rasulululah saw selalu memperingatkan kepada para pemimpin untuk tidak mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung mengada-ngada, semata-mata agar terpilih, lantaran jika seorang pedagang berani bersumpah palsu, akibat yang akan menimpa dirinya hanyalah kerugian.
Sebagai pemimpin hendaknya kita selalu berupaya menyempurnakan keilmuan, berani mengambil risiko dan mampu mengambil ibrah dari keberhasilan serta kegagalan para pemimpin terdahulu. Jadilah pemimpin yang berangkat atas dasar keilmuan dan ketakwaan bukan atas dasar nafsu dan keserakahan.
Sumber : Riau Pos